Serial anime Neon Genesis Evangelion telah lama dianggap sebagai karya penuh filosofi, simbolisme religius, dan eksplorasi psikologis yang kompleks. Dari persamaan antara Evangelion dan mitologi Judeo-Kristen, hingga teori-teori eksistensial yang tak henti dibedah para penggemarnya, Evangelion tampak seperti mahakarya yang penuh makna tersembunyi. Namun, Hideaki Anno, sang kreator, ternyata punya pandangan berbeda—bahkan bisa dibilang mengejutkan.
Dalam berbagai wawancara, termasuk dalam dokumenter The Final Challenge of Evangelion dan beberapa sesi tanya jawab pasca-penayangan Rebuild of Evangelion, Anno berkali-kali menyatakan bahwa banyak dari elemen yang dianggap “dalam” atau “filosofis” oleh penonton sebenarnya tidak dimaksudkan seperti itu.
Simbolisme Agama? Sekadar Aksen Visual
Salah satu hal yang paling sering dibicarakan dalam Evangelion adalah penggunaan simbol agama: salib, referensi pada Adam dan Lilith, serta “Dead Sea Scrolls.” Banyak fans menduga ada makna spiritual besar di baliknya. Tapi Anno secara terbuka menyatakan bahwa elemen-elemen itu digunakan hanya untuk menciptakan nuansa eksotis yang menarik perhatian.
“Kami memakai simbol-simbol itu karena keren dan tampak asing. Tidak ada pesan religius yang kami coba sampaikan,” ujar Anno dalam sebuah wawancara dengan Newtype Magazine tahun 2001.
Kedalaman Emosional, Bukan Intelektual
Meskipun Evangelion memang mengeksplorasi psikologi karakter dengan cara yang jarang dilakukan anime lain pada zamannya, Anno menyebut bahwa tujuan utamanya bukan untuk membuat karya yang “dalam” dalam artian intelektual. Ia justru ingin menangkap keresahan pribadi dan perasaan isolasi yang ia alami saat membuat serial tersebut, pasca mengalami depresi berat.
Shinji, tokoh utama, bukanlah pahlawan arketipal, melainkan cerminan dari kerentanan manusia yang enggan bertindak, takut berinteraksi, dan tenggelam dalam ketidakpastian. Dalam hal ini, Evangelion adalah bentuk terapi personal bagi Anno—sebuah media untuk mengekspresikan pergulatannya dengan diri sendiri, bukan alat untuk menyampaikan tesis filsafat yang utuh.
Respon Penonton yang “Berlebihan”?
Menariknya, Anno juga mengaku terkejut dengan reaksi fans yang menilai Evangelion sebagai karya sarat filosofi. Ia bahkan menyebut sebagian interpretasi penonton sebagai “terlalu jauh.” Namun, ia tak menampik bahwa karya seni memang bebas ditafsirkan. Ia hanya menekankan bahwa banyak hal yang dianggap penuh makna oleh publik, sebenarnya adalah hasil keterbatasan produksi atau keputusan artistik spontan.
Contohnya, ending asli serial TV Evangelion yang terkenal membingungkan—dua episode terakhir yang minim aksi dan penuh monolog batin—sebenarnya lahir karena keterbatasan anggaran. Namun justru bagian itu kini dianggap sebagai pernyataan metafisik tentang eksistensi dan identitas diri.
Kesimpulan: Evangelion Itu Apa Adanya
Meskipun Hideaki Anno merendah dengan menyebut Evangelion tidak sedalam yang dikira, tidak berarti serial ini tak punya nilai artistik atau emosional yang kuat. Justru sebaliknya, kejujuran emosional yang mentah dan ketidakterdugaan naratifnya membuat Evangelion begitu berkesan. Bahwa orang bisa menemukan makna begitu dalam dari sesuatu yang dibuat “dari rasa cemas dan kebingungan”—itu sendiri adalah keajaiban.
Evangelion, dengan segala kontradiksinya, adalah bukti bahwa karya seni bukan hanya milik penciptanya. Begitu ia lahir ke dunia, ia menjadi milik siapa saja yang melihat, menafsirkan, dan merasakannya. Jadi, meskipun Hideaki Anno bilang Evangelion tak sedalam itu, bukan berarti kita tidak boleh menyelaminya. Karena terkadang, makna tidak perlu dimasukkan—cukup dibiarkan ditemukan.